Muara Gembong, Bagaimana Nasibmu Kini?


Muara Gembong adalah salah satu kecamatan di Kabupaten Bekasi letaknya yang diujung membuat Kecamatan ini sering dianggap kawasan pelosok, Bekasi yang sering diidentifikasikan sebagai kawasan perindustrian ternyata memuat sudut kehidupan lain yang menampilkan sisi yang berbeda yaitu masyarakat perkampungan yang bergantung hidup pada muara-muara sungai di Bekasi dengan sebagian besar penduduk yang bekerja sebagai seorang nelayan. 

Kawasan Muara Gembong setidaknya memiliki 6 Desa/Kelurahan salah satunya adalah Desa Pantai Bahagia yang terletak di sepanjang Sungai Citarum dan Sungai Beting (anak Sungai Citarum) mempunyai vegetasi hutan mangrove dan sumber hasil laut. Menurut Perum Perhutani luas hutan mangrove alami di Muara Gembong 10.480 hektar. Namun, luas tutupan hutan sangat berkurang , sekitar 93,5 persen menjadi tambak dan lahan pertanian masyarakat. Pusat Studi Kelautan tahun 2002 mengidentifikasi kawasan vegetasi hutan bakau di Muara Gembong tersisa sekitar 386,21 Ha atau 3,4%. 

Lahan konservasi yang semakin terkikis dikarenakan beberapa faktor seperti alih fungsi lahan. Menurut sumber berita tujuan alih fungsi lahan disebabkan kebutuhan aktivitas ekonomi seperti tambak ikan dan udang serta kebutuhan internal penduduk lokal berupa ruang pemukiman di wilayah tersebut.

Kurangnya tanaman mangrove tersebut merupakan salah satu faktor dominan terjadinya abrasi pantai di Muara Gembong, khususnya pada Kampung Beting yang menyebabkan pengikisan tanah pada daerah pesisir pantai sehingga memberikan dampak secara langsung bagi masyarakat wilayah tersebut. Dalam pengamatan survei yang kami lakukan, abrasi pantai yang terjadi di Kampung Beting, Kecamatan Muara Gembong menyebabkan kerusakan pada berbagai aspek kehidupan seperti kerusakan lingkungan. 

Beberapa dampak negatif terhadap kondisi lingkungan di kampung tersebut yaitu sampah laut yang berserakan di area pemukiman karena terbawa arus saat abrasi, Sampah tersebut juga tersebar di sepanjang akses jalan hingga di dekat rumah-rumah warga. Selain itu menurut Pak Qurtubi selaku Sekretaris Desa di Kampung Beting menyatakan bahwa garis pantai juga menjadi lebih naik dari sebelumnya, karena arus laut tidak tertahan oleh pohon mangrove yang ada. 

Hal tersebut juga dapat terlihat dari upaya masyarakat yang berusaha meninggikan bangunannya agar air laut tidak masuk kedalam rumah mereka. Letak pesisir Muara Gembong yang landai pun menjadi faktor pendukung terjadinya abrasi pantai. Abrasi pantai yang terjadi di Muara Gembong juga menyebabkan kerusakan fisik atau material. 

Kerusakan fisik yang dimaksud yaitu rusaknya bangunan rumah yang terkena gelombang laut, rusaknya fasilitas umum yang tersedia seperti sekolah, masjid dan terendamnya pemakaman umum. Pak Qurtubi juga menyatakan bahwa pemerintah telah melakukan program giat tanam mangrove, tetapi tidak menjangkau pada aspek pengawasan secara berkelanjutan terhadap program yang telah dilakukan sehingga menyebabkan dampak lanjutan pada kampung. 

Disisi lain, kapasitas internal masyarakat Kampung Beting dikatakan sudah memahami akan pentingnya tanaman mangrove akan tetapi terbatas karena preferensi ekonomi yang harus dipenuhi sehingga narasi pentingnya mangrove ini tenggelam oleh kebutuhan yang dianggap masyarakat lebih mendesak. 

Selain itu, abrasi mengakibatkan lahan tambak yang menjadi salah satu pendukung sektor ekonomi terbesar di Kampung Beting menjadi hilang karena terbawa oleh air laut, dinding pembatas tambak bercampur dengan abrasi sehingga lahan-lahan tambak yang menjadi sumber ekonomi sudah tidak bisa menghasilkan lagi. 

Berdasarkan uraian dampak abrasi pantai di atas, penting bagi penggiat advokasi lingkungan untuk menganalisis secara mendalam mengenai dampak abrasi pantai dengan tujuan untuk mencegah kerugian multi sektor khususnya yang berdampak langsung terhadap masyarakat lokal.

Komentar